Paling Ciamik Kepala Reyog dari Kulit Macan Tutul






Keberadaan pembuat reyog di Kabupaten Ponorogo semakin berkurang. Hal ini ditengarai karena selain sulitnya bahan baku, generasi penerus pembuat kerajinan ini pun semakin luntur. Ironisnya, saat ini hanya ada enam perajin saja yang masih bertahan dalam membuat reyog.
Seperti diutarakan Eko Yudho, salah satu perajin reyog warga Jalan Jola-Juli, Tambakbayan, Ponorogo, ketika ditemui onemediastyle.com, Kamis (21/10/2010) bahwa hingga saat ini dia sudah menekuni usaha membuat reyog sejak puluhan tahun silam. Sedangkan ilmu dalam membuat reyog dia dapatkan dari warisan orang tuannya yang juga seorang pembuat reyog.
Uniknya, pembuat reyog di Ponorogo rata-rata mantan seorang pembarong (pemain reyog). “Di Ponorogo sekarang hanya ada sekitar enam orang saja, itu pun rata-rata warisan orang tua yang meminta untuk diteruskan sang anak, termasuk saya,” kata Eko, pria dengan badan kekar dan memiliki tato di lengan kanannya ini.
Menurutnya, dalam pembuatan kepala reyog, pihaknya menggunakan bahan kulit macan asli yang didapatkan dari Sumatera. Meski begitu, dia tidak membantah jika ada kepala reyog yang tebut dari kulit lembu maupun sapi. Namun reyog yang terbuat dari kulit lembu maupun kulit sapi tidak diperkenankan untuk tampil dalam pertunjukan.
“Memang ada kepala macan yang menggunakan kulit lembu, tapi itu sifatnya hanya hiasan dinding saja. Jika dalam pentas kepala reyog ada yang terbuat dari kulit lembu langsung kita turunkan. Itu tidak diperkenankan,” jelas Eko yang akrab disapa dengan panggilan Kentut itu.
Menurutnya, kendala dalam pembuatan reyog hanya pada kulit macan dan bulu merak. Sebab, dia harus mendapatkan kulit macan dari penjual di Sumatera. Sedangkan untuk bulu merak dia harus memesan dari India dan dengan harga yang tidak murah.
Berbeda dengan puluhan tahun silam, di Ponorogo bisa dengan mudah mendapatkan bulu merak. Pasalnya saat itu memang banyak dijumpai burung merak. Namun kini, sangat sulit untuk menjumpai merak. “Seharusnya Ponorogo membudidayakan hewan merak,” pintanya.
Untuk pembuatan satu buah reyog, dia dan lima karyawannya bisa memakan waktu antara dua minggu hingga tiga minggu. Sementara untuk harga jual reyog yang memiliki berat sekitar tiga puluh kilogram ini, dia patok dengan harga antara Rp 25 juta hingga 40 juta rupiah, tergantung dari jenis bahan yang dipakai serta jenis kulit macan itu sendiri.
“Yang paling mahal adalah reyog yang menggunakan kulit macan tutul. Saat ini kita sangat kesulitan mencari kulit macan tutul. Dalam legenda, reyog yang asli juga menggunakan kulit macan tutul,” pungkasnya.
Dari tangan kreatifnya ini, dia pernah mendapatkan pesanan membuat reyog dari luar negri, yakni Suriname dan Inggris. Bahkan, terkadang dia juga mendapatkan order dari negara Eropa lainnya. Namun sayang karena terbatasnya bahan baku, kadang dia harus menolak order.
“Sekali lagi, saya tidak berani menerima order karena sangat sulit mendapatkan kulit macan, apalagi yang jenis macan tutul. Kasihan jika pemesan harus menunggu lama karena tidak ada kulit macan tutul,” guraunya.
Selain membuat reyog, dia juga membuat beberapa miniatur reyog. Untuk harganya, jelas berbeda jauh dengan harga reyog yang asli. Sebab, selain bentuknya yang kecil, pembuatan miniatur reyog ini hanya memakan bahan yang sedikit.
Uniknya, yang laku saat ini justru miniatur reyog yang awalnya dia buat hanya iseng-iseng saja. “Dulu saya tidak kepikiran untuk membuat miniatur reyog. Saat itu karena ada sisa bahan, saya buat miniatur reyog. Ternyata malah banyak yang meminati, Mas,” katanya.
Sedangkan untuk harga jual miniatur, dia mematok harga antara Rp 100 ribu hingga Rp 250 ribu, tergantung besar dan banyaknya bahan yang digunakan. [air/tur]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar